Monday, February 25, 2008

Refleksi International Women Day: Narsisme Tubuh Perempuan Dan Hipermarket

March, 09 2007 @ 12:35

Pada tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingatinya sebagai Hari Perempuan Internasional atau biasa disebut International Women’s Day (IWD). Pada hari itu perempuan di seluruh dunia, masyarakat dan NGO yang peduli persoalan perempuan memperingatinya dengan cara melakukan pawai atau melakukan kampanye serta menyampaikan tuntutan-tuntutan yang memperjuangkan seputar isu-isu perempuan. Penindasan terhadap perempuan memang masih terpupuk dan tumbuh subur, meski saat ini adalah era yang mengagung-agungkan modernitas dan kemajuan tekhnologi. Penindasan perempuan bukan hanya melalui tindakan pelecehan dan kekerasan fisik, lebih daripada itu penindasan itu juga berbentuk kesadaran semu yang diinjeksikan kepada perempuan secara terus menerus oleh berbagai instrument-instrumen kekuasan demi kepentingan segelintir orang. Perempuan dengan mudah akan terhipnotis oleh semarak tawaran-tawaran pasar globalisasi, yaitu berupa berbagai macam aksesoris untuk memperindah penampilan, yang sebernarnya merupakan salah-satu usaha pemalsuan kesadaran perempuan menuju ideologi narsis.Bila kita cermati semakin hari, kian menjamurlah mall, pusat-pusat perbelanjaan dan swalayan di berbagai sudut-sudut kota besar. Seolah tidak mau ketinggalan, mini market juga telah merambah di kota-kota pinggiran. Hingga nasib mengenaskan melanda toko-toko kelontong milik masyarakat yang berbasis ekonomi keluarga. Pasar tradisional mengalami penurunan keuntungan penjualan dengan jumlah yang cukup signifikan. Padahal toko kelontong dan pasar tradisional adalah penyangga perekonomian mikro rakyat kecil, berbeda dengan swalayan dan jaringan mini market yang didesain dan dioperasikan oleh segelintir orang yang secara finansial memiliki kemampuan materiil lebih mapan.Ketika awal tahun 2006 hingga mendekati pertengahan tahun 2007 penambahan jumlah mall, swalayan dan mini market yang menjual kebutuhan hidup, cinderamata, pakaian-pakaian mode baru—yang hanya akan bertahan sebatas diiklankan produk tersebut, permainan elektronik, photo box, jumlahnya bertambah pesat jika dibandingkan jumlah toko buku di Indonesia. Jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia juga masih tertinggal jauh dari negara lain, setiap tahunnya hanya 10.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia, bandingkan dengan Inggris yang menerbitkan 110.000 buku setiap tahunnya. Hal itu mengindikasikan budaya masyarakat Indonesia yang masih minim untuk menyampaikan pemikiran dan gagasan baru, mereka telah terbiasa menonton dan mengkonsumsi dibanding mencipta dan melakukan proses kreatif.Mall dan swalayan juga menjadi tujuan rekreasi pemuda-pemudi, dalam hal ini perempuanlah yang lebih mendominasi karena memiliki kepentingan untuk terus berbelanja dan melakukan perbaikan-perbaikan pada setiap detail tubuhnya supaya semakin mendekati stradarisasi-stadarisasi cantik menurut ukuran pasar.Perempuan akan kebingungan dan merasa kurang percaya diri ketika pakaiannya ketinggalan mode, perempuan akan mengalami krisis yang tidak terelakkan dalam hidupnya ketika ia tidak memakai lipstik dan pada akhirnya jiwa mereka akan tetap mengalami kegelisahan karena telah memutuskan untuk ikut arus yang sebenarnya tidak bisa ia mengerti dan menuruti aturan-aturan, standar-standar kecantikan yang dipaksakan pada mereka.Kesadaran perempuan diremehkan dan ditempatkan pada posisi serendah-rendahnya, perempuan berfikir dengan metode dangkal, mereka disibukkan berhias diri di depan kaca, menyempurnakan penampilannya, terkagum-kagum pakaian terbaru artis sinetron, berpose dengan senyuman dibuat-buat di dalam box foto, memandang dan mengevaluasi hasil foto kemudian siklusnya diulang lagi. Seolah eksistensinya sudah terpenuhi hanya dengan aktivitas-aktivitas pasif itu. Kalau perempuan terus-menerus hanya mempedulikan diri-sendiri dan akan memperhatikan orang lain yang lebih glamour sebagai referensi, ketika perempuan menganut ideologi narsistik atau ideologi yang memuja-muja tubuh sendiri, lantas kapan mereka menyempatkan untuk melakukan sesuatu pada orang lain yang mengalami kesulitan hidup? Kapan perempuan akan menuntut ketidakadilan yang menimpa mereka? Kapan perempuan memiliki perspektif maju tentang persoalan kehidupan?Sebagaimana manusia seutuhnya, perempuan memiliki hak untuk bebas dari lingkaran narsis yang akan menenggelamkan mereka menuju lubang gelap imajinasi dan kepuasan-kepuasan semu yang tidak memberikan efek positif apapun selain kesia-siaan. Perempuan memiliki hak sekaligus kewajiban untuk berorganisasi dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sosial. Perempuan berhak belajar dan lebih memiliki ruang untuk mengelola ide-ide kreatifnya, perempuan berhak bebas dari intimidasi serta tindak kekerasan. Perempuan berhak bebas dari pelacuran hubungan seksual—maupun yang dibungkus pernikahan— yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh uang atau berbagai keuntungan materi dan keamanan, karena bentuk hubungan seperti itu terjadi pada situasi dimana perempuan mengorbankan perasaan kasih-sayang sejati, persahabatan dan kemurnian cinta.Lalu, apakah terlarang ketika perempuan merawat tubuhnya? Tentu saja jawabannya tidak! Yang menjadi persoalan adalah ketika seluruh waktunya dihabiskan untuk mengejar tubuh 'ideal' versi 'pasar' yang menyesatkan itu. Kecantikan muncul dari tubuh dan pikiran yang sehat, kecantikan bukan pemalsuan kepribadian yang telah mengubah konsep kebahagiaan diri guna memuaskan norma masyarakat dengan tujuan untuk memikat laki-laki dan supaya orang-orang sekitar menganggapnya normal. Sesungguhnya pada saat itulah terbukti penyebab tersingkirkannya perempuan untuk hidup mandiri dan tidak tergantung bukan disebabkan oleh kodrat maupun ajaran agama, namun sistem ekonomi dan sistem sosial-lah yang menyebabkannya.

By: Ken Ratih Indri Hapsari, 2007

No comments: