Monday, February 25, 2008

Photos from International Women's Day

Thursday, March 08, 2007

Filipino women shout slogans as they are blocked by riot police near the Presidential Palace in Manila during a rally Thursday, March 8, 2007 to celebrate International Women's Day. Thousands of women march through the streets of Manila to denounce the recently signed Anti-Tterror Law by Philippine President Gloria Macapagal Arroyo which allegedly will be 'a tool to further justify and aggravate the culture of impunity in the country.' (AP Photo/Bullit Marquez)

Activists of Workers Women's Association chant slogans during a rally to mark International Women's Day, Thursday, March 8, 2007 in Lahore, Pakistan. Thousands of women demonstrated in nation-wide rallies on International Women's Day, demanding freedom, equal rights and an end to discriminatory laws in this Muslim nation. (AP Photo/K.M. Chaudary)

Palestinian women scuffle with an Israeli border police officer during a women's demonstration at the Kalandia checkpoint on the outskirts of the West Bank town of Ramallah Thursday, March 8, 2007. The protest was organized by Israeli and Palestinian women on the occasion of the International Women's Day. (AP Photo/Emilio Morenatti)

A member of a Croatian women's group argue with a policeman who stopped their march to mark International Women's Day in Zagreb March 8, 2007. REUTERS/Nikola Solic (CROATIA)

Women carry their baskets during a match at the climax of the International Women's Day celebration at Mnazi Mmoja grounds in Dar es Salaam, Tanzania, March 8, 2007. REUTERS/Emmanuel Kwitema (TANZANIA)

Activists take part in a rally to mark International Women's Day in Islamabad March 8 2007. REUTERS/Faisal Mahmood

Backdropped by a section of Israel 's separation barrier, Palestinian women hold Palestinian flags as they march to take part in a women's demonstration at the Kalandia checkpoint on the outskirts of the West Bank town of Ramallah Thursday, March 8, 2007. The protest was organized by Israeli and Palestinian women on the occasion of the International Women's Day. (AP Photo/Emilio Morenatti)

Abused women wear black masks as they protest during a rally to mark International Women's Day at Madrid's Puerta del Sol March 8, 2007. REUTERS/Sergio Perez (SPAIN)

Women walk down a street during a procession for International Women's Day in Goma. Thousands of women have rallied at a protest against unpunished sexual assaults in the city of Goma in the Democratic Republic of Congo to mark International Women's Day.(AFP/File/Lionel Healing)

Women applauds during the International Women's Day celebration at La Moneda government palace in Santiago, Thursday, March 8, 2007. Michelle Bachelet, Chile's first female president, celebrated Women's Day by assuring that politics has changed for good as she nears the one-year mark of a term that has brought new opportunities for her countrywomen.(AP Photo/Santiago Llanquin)

Afghan women pray during a ceremony marking the International Women's Day in Kapisa province, north of Kabul, Afghanistan, Thursday, March 8, 2007. Perhaps nowhere else in the world do women more desperately need a day to celebrate their existence, but the reality of millions of women in this war-torn country is bleak. Roughly two out of five Afghan marriages are forced, while 45 percent of women are married by the age of 18, says the country's Ministry of Women's Affairs. (AP Photo/ Musadeq Sadeq)

Gang-rape victim Mukhtaran Mai, who has become a symbol of courage for women, expressed dissatisfaction over women's rights in Pakistan as the country marks International Women's Day.(AFP/Rizwan Tabassum)

Sudanese women attend a conference for International Women's Day in Khartoum. The UN High Commissioner for Human Rights used International Women's Day on Thursday to highlight what she called "rampant" sexual violence against women in Sudan's Darfur region.(AFP/Isam al-Haj)

Women shout slogans protesting for women's rights in front of the government palace during celebrations for International Women's Day in Lima March 8, 2007. REUTERS/Enrique Castro-Mendivil (PERU)

A blindfolded woman takes part in a march by thousands through the streets of Oaxaca to mark International Women's Day March 8, 2007. Members of the APPO (Popular Assembly of the People of Oaxaca) and teachers unions joined the demonstration. REUTERS/Str (MEXICO)

Mayan women take part in an International Women's Day march in Guatemala City March 8, 2007. REUTERS/Daniel LeClair (GUATEMALA)

Andean women weave at a park before a rally to mark the International Women's Day in Cuzco, Peru, Thursday, March 8, 2007. (AP Photo/Karel Navarro)

A Sri Lankan woman takes part in a protest action asking the government to bring an end to ongoing abductions and aribitary killings to mark International Women's Day in Colombo. Top UN officials led global calls to end violence against women and girls Thursday as they marked International Women's Day.(AFP/Sanka Vidanagama)

Women demonstrate to commemorate Women's day in the Taksim neighborhood of Istanbul. Top UN officials led global calls to end violence against women and girls Thursday as they marked International Women's Day.(AFP/Hocine Zaourar)

Women dance in the street during a procession to celebrate the International Women's Day, in Goma, Democratic Republic of the Congo. Top UN officials led global calls to end violence against women and girls Thursday as they marked International Women's Day.(AFP/Lionel Healing)

Indian women take part in a protest demanding up to 33 percent reservation for women in parliament and also the upliftment of women's rights, in New Delhi. Top UN officials led global calls to end violence against women and girls Thursday as they marked International Women's Day.(AFP/Manan Vatsyayana)

Thousand of women and members of social organizations take part in a march to mark International Women's Day in Mexico City March 8, 2007. REUTERS/Daniel Aguilar (MEXICO)

Women march in downtown streets during celebrations for International Woman's Day in Lima, March 8,2007. REUTERS/Enrique Castro-Mendivil (PERU)

Hari Perempuan Internasional

By Ita F.Nadia
(Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)

Di kalangan gerakan perempuan internasional, 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan International. Penentuannya berawal dari tahun 1908 ketika menjawab tuntutan kaum perempuan, Partai Sosialis Amerika Serikat mengusulkan hari terakhir bulan Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik (hak untuk memilih dalam pemilihan umum) kaum perempuan. Hari Perempuan Amerika ini (28 Februari 1908) mendapat perhatian sangat besar dari kaum feminis dan sosialis seluruh dunia dan mendorong aksi solidaritas yang terorganisasi oleh berbagai kelompok buruh perempuan Amerika Serikat.
Di tahun 1910,pada konferensi kedua perempuan sosialis sedunia di kota Kopenhagen, Clara Zetkin, seorang aktifis gerakan perempuan dan tokoh sosialis, menentang sikap separatis dari gerakan perempuan suffragist (menuntut hak pilih dalam pemilihan umum) mengajukan usul untuk menginternasionalkan eksperimen Amerika itu dan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan International, dengan slogan "hak pilih untuk semua orang".
Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks pasang naik gerakan perempuan di seluruh dunia pada awal abad ini (di Indonesia muncul Kartini dengan pemikiran dan aksinya). Saat itu kaum perempuan sudah terorganisasi dan gerakannya meluas di Eropa dan Amerika yang tercermin dari terbentuknya International Women Suffrage Alliance (1904). Awal abad ini marak dengan diorganisasikannya protes , demonstrasi, pemogokan buruh, dan kampanye persamaan hak dan menentang penindasan terhadap buruh perempuan. Bangkitnya perempuan sebgai buruh yang tertindas merupakan buah dari perubahan sosial itu sendiri, berkembangnya modal dimana sesungguhnya buruh merupakan penggerak perkembangan yang sekaligus dihisap olehnya.
Usul Clara Zetkin terwujud pada tahun 1911, saat pecahnya perang dunia pertama, 8 Maret dirayakan dengan pawai dan demonstrasi perempuan di berbagai negara Eropa. Dan ketika Revolusi Rusia dimulai, hari perempuan internasional ditandai dengan demonstrasi-demonstrasi massa dan protes menuntut bahan makanan, yang dilancarkan oleh kaum perempuan , laki-laki dan anak-anak.
Di Inggris, hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sesudah perang dunia kedua. Di Amerika, peringatan hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian anti perang pada tahun 1960an, yang terus berkembang dan meluas.
Setelah tahun 1975, PBB menetapkan sebagai tahun internasional perempuan, yang kemudian pada tahun 1976 hingga 1985 ditetapkan sebagai "Dasa Warsa Perempuan". Sesungguhnya pada tahun 1977, Majelis Umum PBB menerima resolusi yang menetapkan suatu hari internasional untuk perempuan. PBB mengajak semua negara anggota untuk memproklamasikan suatu hari sebagai Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia, yang penetapan harinya diserahkan pada masing-masing negara. Kebanyakan negara (tidak termasuk Indonesia) menetapkan 8 Maret , yang memang sudah dikenal sebagai Hari Perempuan Internasional. PBB sendiri pada tahun 1978 menetapkan tanggal 8 Maret dalam daftar hari libur resmi.
Persoalan Perempuan
Kesadaran mengenai ketertindasan kaum perempuan dan sifat struktural dari penindasan tersebut sudah lama muncul di Indonesia. Pada awal abad ini, seiring dengan munculnya kesadaran baru mengenai kolonialisme, muncul seorang pelopor, R.A.Kartini, seorang puteri bupati Jawa yang melalui tulisan-tulisannya menentang keras poligini, kawin paksa, dan penindasan feodal serta kolonial. Ia berusaha menegakkan hak kaum perempuan untuk bersekolah dan dengan mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan.
Kemudian muncul banyak perempuan yang dengan membawa serta kesadarannya tentang ketertindasan kaum perempuan, aktif dalam politik pergerakan nasional. Misalnya Munasiah dan Sukaesih, dua aktivis politik yang dalam suatu konggres perempuan di Semarang tahun 1924 menyerukan perlunya kaum perempuan berjuang agar bisa memajukan hak-haknya dan agar tidak disisihkan. Munasiah berkata:" Wanita itu menjadi mataharinya rumah tangga, itu dahulu! Tapi sekarang wanita menjadi alat kapitalis. Padahal jaman Mojopahit wanita sudah berjuang.. Sekarang adanya pelacur itu bukan salahnya wanita, tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme."
Setelah pecah pemberontakan nasional pertama menentang kolonialisme 1926-1927, kedua pejuang ini ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Digul, Papua Barat, karena terlibat pemberontakan. Kesadaran baru di kalangan perempuan indonesia akan penindasan kolonialisme dan imperialisme, dengan berbagai bentuknya terus bergerak dan meluas sampai Indonesia merdeka.
Pada masa revolusi, berdiri berbegai macam organisasi perempuan, termasuk partai politik khusus perempuan ( Partai politik Wanita, didirikan oleh Nyi Sarmidi Mangunsarkoro; S.K.Trimurti menentang pembentukan partai ini dan mengusulkan agar perempuan bergabung dengan partai politik yang ada, tidak perlu membentuk partai sendiri).Kaum perempuan tidak hanya aktif di garis belakang sebagai anggota palang merah atau petugas dapur umum. Mereka juga menjadi anggota satuan-satuan laskar maupun tentara reguler yang aktif bertempur di front (garis depan) melawan tentara penjajah yang hendak kembali menjajah Indonesia. Inilah yang "dikritik" oleh lagu patriotik yang patriarkhis, " Melati di tapal Batas", yang hendak mengerangkeng perempuan dalam tirani domestik.Pada masa revolusi itu pula organisasi-organisasi perempuan seperti PERWARI,Wanita Indonesia,Pemuda Putri Indonesia, Aisyiah, GERWIS (Gerakan Wanita Sedar) dan sebagainya membentuk federasi organisasi perempuan (bukan wadah tunggal perempuan) yang diberi nama KOWANI (Konggres Wanita Indonesia). Meskipun persoalan utama bangsa kita saat itu adalah perjuangan mengusir penjajah, gerakan sosial politik tidak didominasi oleh pandangan nasionalisme sempit yang chauvinistik atau malah xenophobic. Watak internasionalis dilambangkan dalam Mukadimah UUD 1945 : "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa..."
KOWANI sendiri pada masa itu terlihat sangat sadar mengenai tempat, peran dan tanggungjawabnya sebagai warga dunia. Dalam pernyataan-pernyataannya dikemukakan seruan-seruan untuk ikut menegakkan perdamaian dunia.
Sebagian dari organisasi-organisasi perempuan menyadari bahwa penindasan perempuan, dan oleh karena itu perjuangan kaum perempuan, bukan terbatas di Indonesia saja. Di negeri-negeri lain (termasuk negeri-negeri kapitalis industri maju) kaum perempuan mengalami berbagai bentuk penindasan baik yang bersifat kelas, maupun seksual seperti perkosaan, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap perempuan. Demikian pula di negeri-negeri Dunia Ketiga. Selain itu mereka semakin menyadari sifat struktural dari penindasan itu sehingga sebagian dari mereka sekaligus menginginkan penghapusan patriarkhi dan pelenyapan neo-kolonialisme dan neo-liberalisme.
Pada titik inilah kemudian Hari Perempuan Internasional 8 Maret menjadi penting. Pada tahun 1960, oleh organisasi-organisasi yang menjadi anggota KOWANI diperkenalkan Hari Perempuan Internasional dan Deklarasi Kopenhagen yang keduanya merupakan hasil Konggres Perempuan Internasional 1910 di kota Kopenhagen, Denmark. Deklarasi ini menyerukan: " Bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional, dan perdamian". Pada waktu itu dalam tubuh KOWANI tidak tercapai kesepakatan ketika organisasi anggotanya mengusulkan agar Hari Perempuan Internasional diperingati disini. Meskipun demikian pada tahun itu di beberapa kota berlangsung perayaan Hari Perempuan Internasional.
Lintas Negara
Pada saat ini terjadi kemunduran perasaan internasionalis. Hari-hari internasional sangat jarang diperingati oleh penduduk Indonesia, apalagi secara resmi. Ini sedikit banyak berkaitan dengan kenyataan telah merosotnya kekuatan organisasi -organisasi masyarakat di satu pihak dan di lain pihak berhasilnya organisasi-organisasi masyarakat itu telah dikooptasi secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu tidak sedikit organisasi-organisasi masyarakat yang hanya berkutat ke dalam.
Kenyataan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia juga merupakan persoalan yang dihadapi oleh rakyat miskin di seluruh dunia menjadi terabaikan. Disamping itu oleh satu dan lain sebab, masalah internasional kini hanya menjadi urusan negara.
Pada tahap perkembangan perekonomian sekarang ini di dunia telah disatukan dalam suatu pasar besar di mana kaum perempuan dunia mau tidak mau terseret kedalamnya. Persolan seperti eksploitasi tenaga buruh perempuan dalam konteks pembagian kerja internasional baru, pengiriman pekerja migran perempuan, jaringan perdagangan perempuan, perusakan lingkungan dan berbagai persoalan yang melintas batas-batas suatu negeri.Pada Hari Perempuan Internasional ini, maka kita memikirkan kembali hakikat dan jangkauan persoalan penindasan perempuan dan kembali menggenggam di tangan kita segala persoalan kita bersama.
Sumber: Kompas

Pekerja Rumah Tangga diperlakukan secara kejam di seluruh dunia, Satu laporan Human Rights Watch yang menyoroti Kondisi yang mirip dengan Perbudakan,

(Jakarta, 27 Juli 2006) – Para pekerja rumah tangga (PRT) menghadapi berbagai macam perlakuan kejam dan eksploitasi termasuk perlakuan kejam secara fisik dan seksual, pengurungan paksa, upah tidak dibayar, tidak diberi makan dan fasilitas kesehatan, serta jam kerja yang sangat panjang tanpa hari libur, menurut Human Rights Watch dalam laporan barunya yang dirilis hari ini.
Kebanyakan pemerintah tidak memasukkan para pekerja rumah tangga ke dalam standar perlindungan buruh dan gagal memonitor praktek-praktek perekrutan yang memaksakan beban hutang yang sangat berat atau yang tidak memberikan informasi akurat mengenai jenis pekerjaan kepada para pekerja rumah tangga ini. “Dari pada menjamin para pekerja rumah tangga untuk bekerja dengan bermartabat dan bebas dari tindak kekerasan, pemerintah sebaliknya secara sistematis telah mengabaikan para PRT dari aspek perlindungan tenaga kerja seperti yang diberikan kepada pekerja lainnya,” kata Nisha Varia, peneliti senior dari Human Rights Watch untuk divisi Hak-Hak Perempuan. “Para [pekerja] migran dan anak-anak merupakan pekerja yang sangat beresiko menerima perlakuan kejam.” Laporan yang terdiri dari 93 halaman ini dan berjudul “Disapu ke Bawah Karpet: Perlakuan Kejam terhadap Pekerja Rumah Tangga di Seluruh Dunia,” mensintesakan seluruh penelitian yang telah dilakukan oleh Human Rights Watch sejak tahun 2001, mengenai perlakuan kejam terhadap perempuan dan anak-anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, yang berasal dari atau bekerja di El Salvador, Guatemala, Indonesia, Malaysia, Moroko, Filipina, Arab Saudi, Singapura, Sri Lanka, Togo, Emirat Arab, dan Amerika Serikat. “Jutaan perempuan dewasa dan anak-anak di seluruh dunia terpaksa bekerja sebagai pekerja rumah tangga sebagai satu dari sedikit kesempatan mata pencaharian yang tersedia bagi mereka,” ujar Varia. “Perlakuan kejam sering terjadi di rumah-rumah yang merupakan wilayah privat dan tersembunyi dari penglihatan umum.” Dalam situasi yang paling buruk, perempuan dan anak-anak perempuan terjebak dalam situasi kerja paksa atau diperdagangkan menjadi pekerja rumah tangga yang kondisinya mirip dengan perbudakan. Organisasi Buruh Internasional (The International Labor Organization/ILO) memperkirakan bahwa jumlah anak-anak perempuan berusia di bawah enam belas tahun yang bekerja di sektor rumah tangga ini jauh lebih banyak dari pada di sektor lain yang sama-sama mempekerjakan anak-anak. Di Indonesia, ILO memperkirakan ada sekitar 700,000 PRT anak, sementara itu di El Salvador lebih dari 20,000 perempuan dan anak-anak perempuan antara umur empat belas hingga sembilan belas tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Kondisi pekerjaan para pekerja rumah tangga yang sangat eksploitatif sering membuat pekerjaan ini menjadi salah satu dari bentuk perlakuan yang paling buruk bagi pekerja anak. Human Rights Watch menyebutkan bahwa jumlah pekerja perempuan yang bekerja ke luar negeri telah meningkat secara signifikan dalam tiga dasawarsa terakhir, dan sekitar setengah dari kira-kira 200 juta migran di seluruh dunia adalah perempuan. Feminisasi dari migrasi buruh khususnya didengungkan di Filipina, Indonesia dan Sri Lanka, di mana perkiraan di tingkat nasional menunjukkan bahwa 60-75 persen dari tenaga kerja migrasi legal adalah perempuan. Sebagian besar dari jumlah ini bekerja sebagai PRT di Timur Tengah dan Asia. Memperkirakan sejauh mana meratanya perlakuan kejam terhadap PRT adalah cukup sulit, mengingat kurang memadainya mekanisme pelaporan, kurangnya perlindungan hukum, dan dibatasinya kebebasan PRT untuk bergerak. Namun demikian, ada banyak indikasi bahwa perlakuan kejam terhadap PRT terjadi di banyak tempat. Di Arab Saudi, Kedutaan Besar Indonesia, Sri Lanka dan Filipina menangani ribuan pengaduan setiap tahunnya. Sebagai contoh, pada bulan Januari 2004, Kedutaan Besar Sri Lanka memperkirakan setiap bulannya mereka menerima sekitar 150 PRT yang lari dari rumah majikan. Menurut informasi yang diberikan oleh kedutaan-kedutaan besar di Singapura, paling sedikit ada147 PRT jatuh tewas dari gedung tinggi di Singapura sejak tahun 1998 akibat kondisi kerja yang berbahaya atau bunuh diri. “Pekerja Rumah Tangga sering menjadi sandera bagi agen-agen tenaga kerja dan majikan,”kata Varia. “Para pemerintah harus mengatur kondisi kerja dengan lebih baik, mendeteksi pelanggaran-pelanggaran, serta menerapkan sanksi perdata dan pidana yang sesuai.” Undang-undang ketenagakerjaan di Hong Kong telah memberikan contoh positif, di mana pekerja rumah tangga memiliki hak untuk mendapatkan upah minimum, hari libur mingguan, cuti hamil, dan hari libur pada hari-hari libur nasional. Secara umum, undang-undang ketenagakerjaan harus dilengkapi dengan hukum pidana sehingga pelanggaran-pelanggaran seperti kekerasan fisik, psikologis, dan seksual, kerja paksa, pengurungan secara paksa, dan perdagangan manusia memungkinkan untuk dituntut secara hukum. Dengan penambahan sanksi kriminal sebanyak 1,5 kali untuk tindak kejahatan seperti penyiksaan atau pengurungan paksa terhadap pekerja rumah tangga, Singapura sudah sepantasnya menyadari resiko utama yang dihadapi oleh para tenaga kerja ini. Undang-undang imigrasi yang berlebihan, seperti yang diberlakukan di Malaysia dan Arab Saudi, yang tidak mendukung PRT migran untuk menyelamatkan diri dari majikan yang kejam dan menghalang-halangi mereka untuk mengajukan tuntutan atas tindak pelanggaran kriminal harus direformasi. Dialog Tingkat Tinggi dalam Sidang Umum PBB tentang Migrasi dan Pembangunan pada bulan September 2006 akan menjadi sebuah tempat penting bagi para pemerintah untuk meningkatkan kerjasama mereka dan mencegah perlakuan kejam yang berhubungan dengan migrasi (bekerja) ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga. Minggu ini, komisi HAM nasional dari seluruh Asia bertemu untuk membahas mengenai pekerja migran perempuan dan migran yang tidak berdokumen dalam sebuah konferensi yang dilaksanakan di Indonesia dan diselenggarakan oleh Komnas Perempuan. Human Rights Watch mendesak para pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga, menetapkan standar kerja minimum secara regional untuk mencegah kompetisi yang tidak sehat, dan memastikan bahwa para majikan dan agen tenaga kerja diminta pertanggunganjawabannya atas tindakan-tindakan perlakuan kejam yang mereka lakukan. Sebaiknya mereka juga memprioritaskan penghapusan segala bentuk perlakuan terburuk terhadap pekerja anak, termasuk pekerja rumah tangga anak. Sejumlah kesaksian: “Menjadi pembantu rumah tangga, kita tidak punya kekuasaan terhadap hidup kita sendiri. Tidak ada yang menghargai kita. Kita tidak punya hak. Ini pekerjaan yang paling hina.” - Hasana, seorang pekerja rumah tangga anak-anak yang mulai bekerja sebagai pekerja rumah tangga sejak ia berusia dua belas tahun,Yogyakarta, Indonesia, 4 Desember, 2004. “Sangat berat bekerja untuk mereka karena tidak pernah mendapat cukup makan. Saya dapat makan sehari sekali. Kalau saya berbuat salah … [majikan saya] tidak akan kasih saya makan untuk dua hari. Saya sering diperlakukan seperti itu. Kadang-kadang sehari, dua hari, tiga hari. Karena saya kelaparan, saya mencuri makanan dari rumah majikan. Karena itu, majikan saya memukul saya habis-habisan.” - Arianti Harikusumo, pekerja rumah tangga asal Indonesia, umur dua puluh tujuh tahun, Kuala Lumpur, Malaysia, 25 Februari 2004. “Kalau saya melakukan sesuatu yang tidak disukai majikan, dia akan menjambak rambut saya dan membenturkan kepala saya ke dinding. Dia akan bilang,”Saya tidak membayar kamu untuk duduk dan nonton TV! Kamu mencuci piringnya tidak bersih. Saya sudah membayar uang banyak ke ibu kamu, tapi kamu tidak melakukan apa-apa [yang sesuai dengan uang yang sudah dibayar].” … Pernah saya lupa mengambil cucian dari dalam mesin cuci sehingga mulai agak bau, dia menjambak dan mencoba memasukkan kepala saya ke dalam mesin cuci.” - Saida B., pekerja rumah tangga anak, umur lima belas tahun, Casablanca, Moroko, 17 Mei 2005. “Saya dikunci di dalam kantor agen selama empat puluh lima hari. Semuanya ada dua puluh lima orang, dari Indonesia dan Filipina. Kami hanya diberi makan sekali sehari. Kami tidak bisa keluar sama sekali. Menurut kantor agen kita berhutang 1,500 Dirham kepada mereka, sama dengan tiga bulan gaji. Lima orang dari kami mencoba kabur, kami menggunakan selimut untuk kabur dari lantai dua. Empat orang dari kami luka-luka.” - Cristina Suarez, pekerja rumah tangga asal Filipina, umur dua puluh enam tahun, Dubai, Emirat Arab, 27 Februari 2006. Waktu majikan perempuan mengantar anak-anak ke rumah neneknya, majikan laki-laki tinggal di rumah … dia memperkosa saya berkali kali. Sekali setiap hari, setiap hari selama tiga bulan. Saya sering dipukul karena saya tidak mau melakukan hubungan seks. Saya tidak tahu apa itu kondom, tapi dia pake tisu setelah dia memperkosa saya. [Setelah hutang tiga bulan saya lunas] Saya ambil pisau dan bilang,”Jangan mendekati saya, ngapain kamu?” Saya memberi tahu majikan perempuan [mengenai apa yang dilakukan majikan laki-laki], dia sangat marah pada saya dan [besoknya] saya langsung dibawa ke pelabuhan dan bilang dia sudah beli tiket buat saya ke Pontianak. Saya tidak punya uang untuk pulang dari Pontianak. Saya belum ke dokter.” - Zakiah, pekerja rumah tangga yang dipaksa pulang dari Malaysia, umur dua puluh tahun, Lombok, Indonesia, 24 Januari 2004. “Ada seorang perempuan yang datang ke pasar untuk membeli arang. Ia melihat saya dan memberi tahu ibu saya tentang seorang perempuan di Lome yang sedang mencari seorang anak perempuan seperti saya untuk tinggal dengannya dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia datang ke ibu saya, dan ibu saya menyerahkan saya kepadanya. Perempuan itu memberikan ibu saya uang, tetapi saya tidak tahu berapa jumlahnya.” - Kemeyao A., korban perdagangan anak, umur sepuluh tahun, Lome, Togo, 14 Mei 2002.

Emansipasi adalah kebebasan yang bersifat eksistensial

Sekian puluh bulan April telah berlalu sejak Indonesia merdeka, setiap kali pula isu yang diembuskan R.A. Kartini ini menjadi perbincangan yang belum pudar. Manusia tak dapat melepaskan diri dari perubahan zaman. Sejumlah pengamat mengetengahkan pandangannya tentang emansipasi dalam konteks masa kini.
“Wanita dan pria itu betul-betul equal, kok,” kata Sartono Mukadis, psikolog dan direktur sebuah perusahaan konsultan SDM di Jakarta. Pengamat psikologi yang cukup vokal ini bicara berdasarkan pengamatannya sendiri. Malah, “Angka intelegensia wanita yang datang ke tempat saya rata-rata sedikit lebih tinggi (meski tak signifikan) daripada pria. Tingkat kelulusan wanita yang menjalani tes di sini juga lebih besar ketimbang pria,” paparnya. Itu karena wanita yang memutuskan ingin mencari kerja, umumnya lebih matang mempersiapkan diri. Tidak main sabet seperti rekan-rekan prianya.
Ia tak menutupi keheranannya, mengapa masih muncul isu emansipasi. “Istilah ‘emansipasi’ itu sendiri sangat menghina wanita,” kata Sartono. Bukankah secara implisit istilah itu mencerminkan belum adanya kesejajaran antara pria dan wanita? Sementara ia yakin, wanita mampu menjadi apa saja, dari dokter, ahli komputer sampai direktur. Keluhan dari pihak wanita tentang peran ganda yang harus mereka lakukan sehingga menghambat kemajuan karier, ditepisnya. “Adakah seorang anggota masyarakat yang tidak berperan ganda saat ini?” Bahkan seorang pria direktur pun, pada masa ini dituntut untuk tidak menganggap anak itu urusan ibu.”
Sebaliknya ia mengamati masih banyak wanita yang dengan segala kemampuan dan kelebihannya belum bersikap dan berpikir profesional. Batu sandungan yang tertanam di benak dan hati mereka masih cukup banyak. Selain belum high achiever, mereka beranggapan, menapaki karier itu mengkhianati feminitas mereka. Bahkan banyak wanita yang menolak tantangan dalam bekerja karena alasan-alasan yang tidak rasional, seperti, “Saya tidak enak pada suami,” atau, “Bagaimana nanti pandangan keluarga saya?” “Nanti bagaimana dengan anak saya?”
Wanita tak bisa menggali?
Seorang wanita, yang kebetulan juga seorang feminis, menimpali, “Jangan dulu bicara soal kompetensi, sebelum kita yakin keduanya mempunyai kesempatan yang sama.” Menurut Debra H. Yatim, sayang sekali, Indonesia belum menghadirkan itu. Di pihak lain ia sepakat dengan Sartono, bahwa Indonesia sudah saatnya menganut meritokrasi, sehingga seseorang diberi kepercayaan untuk tugas tertentu karena merit-nya, karena kemampuannya. Sartono dengan rendah hati mengakui, bahwa pengamatannya didasarkan cuma sebatas bidang yang digelutinya sehari-hari. Barangkali justru di situ soalnya.
Serentak kita palingkan wajah dari kalangan terdidik dan lingkungan swasta, ke kalangan dengan sosio-ekonomi lebih rendah dan lingkungan pemerintahan, segera mencuat sederet pertanyaan.
Benarkah nasib wanita ada di tangannya sendiri? Bisakah kita batasi masalahnya hanya pada seputar kondisi kejiwaan orang per orang? Bagaimana jika masalahnya juga kait-mengkait dengan faktor sosio-budaya? Bahkan terlembaga dalam keputusan-keputusan strategis para pengelola bangsa ini?
Kalau Sartono berpendapat, istilah “mitra sejajar” sebenarnya sangat menghina wanita, pastilah bukan karena itu istilah yang sama tercantum dalam GBHN (GBHN 1993 - 1998 & Kabinet Pembangunan VI, hal. 120). Bahkan selanjutnya di situ disebutkan, “Iklim sosial budaya perlu dikembangkan agar lebih mendukung upaya mempertinggi harkat dan martabat wanita sehingga dapat makin berperan aktif dalam masyarakat dan dalam lingkungan keluarga secara selaras dan serasi.”
Memang, tampilan wanita dalam konteks kelas menengah ke atas, yang serba berpendidikan dan berpeluang, memberikan gambaran lebih dari lumayan. Namun benarkah peluang untuk bekerja bagi mereka tersedia cukup baik? Meski secara keseluruhan, penduduk wanita Indonesia sedikit lebih banyak dari pria (Statistik Indonesia 1996), kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka, paling tidak yang ditunjukkan oleh data BPS tahun 1989 - 1995, hampir selalu di bawah pria. Yang jelas, krisis moneter dan ekonomi yang sedang menggilas negeri tercinta ini mau tak mau memupuskan harapan wanita akan peningkatan kesempatan kerja lebih lanjut.
“Tuduhan” bahwa sistem di negeri kita memang kurang memberikan kesempatan kepada kaum hawa seperti mendapat pengesahan, saat dicanangkannya program padat karya sebagai salah satu jurus untuk mengelakkan pukulan telak kris-mon. Karena peluang itu hanya disediakan bagi pria. Padahal, “Siapa bilang, perempuan tidak bisa menggali-gali,” ujar Prof. Dr. Saparinah Sadli, guru besar di Fakultas Psikologi UI.
Tentu saja sistem kurang memberi peluang, karena garis kebijakan dasarnya sudah mengarah pada pembedaan berdasarkan gender. Meski menurut UUD ‘45 dan GBHN setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama, mereka belum diperlakukan sama. Menurut Saparinah, adalah GBHN pula yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga, sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga dan pengasuh anak. Dengan begitu kebijakan selanjutnya seperti memalu nasib wanita yang sering memaksanya menjadi pihak yang cuma gigit jari. “Pembedaan itu terjadi sejak seleksi sampai promosi. Kalau wanita bekerja di BUMN, dia diperlakukan sebagai lajang dan tidak memperoleh fasilitas seperti yang diterima pegawai pria. Anaknya tak dapat menggunakan fasilitas poliklinik, misalnya,” jelasnya kemudian.
Kenyataan bahwa banyak wanita menjadi kepala keluarga tidak mengubah nasibnya di depan mata birokrasi, karena memang tidak ada aturannya. Dalam degup kehidupan sehari-hari, kenyataan ini menjadi pil pahit yang bukannya tak mungkin bisa berarti hidup matinya sebuah keluarga, kalaupun bukan melulu nasib seorang wanita. Seorang perempuan sulit mendapatkan kredit dari bank, seorang istri tidak dapat memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), kecuali atas nama suaminya, karena kepala keluarga adalah suami.
Untunglah, di lingkungan swasta, wanita masih lebih diberi keleluasaan berkarya. Saparinah menunjuk kehadiran wanita direktur atau manajer di bank-bank swasta, dibandingkan dengan amat langkanya kaum hawa di level setara dalam bank pemerintah. Kita pun telah terbiasa, bahwa ruang gerak wanita seringkali terbatas pada bidang-bidang yang dipercaya sesuai dengan sifat kewanitaannya. Bidang-bidang yang berkaitan dengan keindahan, kehalusan, ketelitian, dan kesabaran. “Kita diberi kesempatan, asal di jalur perempuan saja,” kata Saparinah. Padahal siapa yang meragukan kefemininan wanita Bali? Di sana adalah biasa terlihat perempuan yang rata-rata berbahu tegak dan segemulai peragawati bahu-membahu dengan pria bekerja sebagai kuli, entah di proyek bangunan atau jalan raya.
Boleh, asalkan peran domestik
Di mata Dr. Karlina Leksono, astronom perempuan pertama di Indonesia, staf BPPT dan pengajar di UI, serta tokoh gerakan Suara Ibu Peduli, posisi perempuan dari segi hak, kebolehan untuk berpendapat, dan peran di luar keluarga memang masih berada di bawah laki-laki. Itu pula alasannya ia memandang wanita masih terbelenggu oleh pelbagai pembatasan yang seharusnya tak ada.
“Emansipasi adalah kebebasan yang bersifat eksistensial,” katanya. Ketika dilahirkan, manusia adalah makhluk bebas. Meski tak diingkari bahwa sebagai makhluk sosial, adalah wajar bila di belakang hari kebebasan itu dibatasi oleh lingkungan sekitar. Namun seyogyanya pembatasan itu bukan sesuatu yang dipaksakan, yang bersifat hegemoni.
Ambil contoh seorang Nyonya Farida yang bekerja setengah hati, “kurang profesional”, menurut istilah Sartono, karena ia “tak enak hati” terhadap suaminya. Ia mundur ketika disodori peluang untuk maju, karena di belakang benaknya ada rambu-rambu menyala merah berkedap-kedip. Rambu-rambu itu berbunyi: “Wanita ideal adalah yang menurut pada suami” (kebetulan, suaminya tidak antusias ia semakin maju, karena khawatir anak-anak akan telantar, ia akan pulang terlalu larut, dsb.), atau, “Penghasilan suami harus lebih tinggi dari istri”. Seperti banyak wanita, Farida memilih menyelamatkan bahtera perkawinannya, karena kesuksesannya di situ yang pertama kali akan dinilai oleh masyarakat sekitar.
Karlina menyayangkan, masih terlalu didengung-dengungkannya keyakinan bahwa yang terbaik bagi wanita adalah peran domestik. Di banyak desa, meski ibu-ibu semakin terdidik oleh peran PKK, konsep yang ditanamkan tetaplah bahwa mereka pendamping atau pendukung suami. Padahal pekerjaan domestik cenderung dianggap kurang penting daripada pekerjaan publik, yang dianggap sebagai wilayah pria. Jelas nilai-nilai tentang bagaimana wanita yang “ideal” yang telah mengkristal dalam sosiokultur kita ini diterjemahkan dalam segala tindak-tanduk kehidupan manusia, termasuk dalam penyediaan atau pemilihan (oleh si perempuan sendiri) lapangan kerja.
Tak enak pada suami
Irwan Abdullah, staf pengajar antropologi FS-UGM, mengutip sebuah hasil survei yang menanyakan kepada 94 orang wanita sebuah desa, “Ciri-ciri apa yang harus dimiliki oleh seorang wanita yang baik?” Hanya 6 responden yang mengatakan bahwa seorang wanita harus mencari uang. Yang terbanyak, wanita harus menjadi ibu yang baik (54 orang), kemudian istri yang baik dan patuh (27 orang) dan ibu rumah tangga (17 orang). Namun yang dianggap ideal ini cukup sulit untuk diwujudkan, karena wanita desa pada praktiknya terlibat dalam pelbagai macam urusan. Ya rumah tangga, ya ekonomi (pertanian, industri, atau dagang kecil-kecilan) ya kegiatan sosial (Prisma 6, Juni 1995).
Struktur sosial di negeri kita yang umumnya patriarkhal disebut juga sebagai salah satu faktor yang semakin memperkuat subordinansi perempuan terhadap laki-laki. Dalam suatu pertentangan kepentingan, wanita biasanya cenderung akan mengalah. Maka jamaklah bila terluncur dari bibir wanita, “Tidak enak pada suami”, saat ia menolak peluang peningkatan dalam jenjang karier, atau saat ia menahan diri untuk tidak aktif dalam kegiatan sosial, meski itu satu-satunya kesempatan untuk memperluas wawasan. Wanita sendiri, karena pengaruh nilai di sekitarnya, memandang bahwa menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik. Terlepas dari apa yang dilakukannya dalam praktik kehidupan nyata, demikianlah yang tertanam di dalam lubuk pikirannya.
Jadi, apa sebenarnya yang kau cari hai kaum perempuan? “Beri kami kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kami sendiri,” ujar Karlina. Dalam kehidupan nyata, itu bisa berarti, perempuan yang berpeluang dan berkemampuan untuk berperan aktif di luar rumah, memutuskan tinggal di rumah, karena berpendapat itu yang paling cocok dengan kepribadian dan panggilan nuraninya. Bukan karena tekanan dari suami, orang tua atau mertua, bahkan omongan tetangga. Tentu masalahnya jadi lain, bila partisipasinya untuk turut mendukung kesejahteraan keluarga secara ekonomi memang dibutuhkan.
Adalah Karlina sang ibu pula yang mengungkapkan, “Saya pikir, keluarga selalu harus diutamakan. Kita harus selalu berangkat dari lingkungan yang kecil. Setelah (segala masalah di) keluarga sendiri teratasi, tidak bisa kita tinggal diam untuk tidak memikirkan orang lain. Apalagi bila kita berkemampuan untuk itu.”
Karlina barangkali satu dari sedikit figur wanita Indonesia yang cukup beruntung menikmati emansipasi dalam keluarganya. Tak pelak lagi, keberuntungannya itu tentu berawal dari figur suami yang memandang emansipasi sebagai demokratisasi dalam tingkat antarmanusia, dan memandang keluarga sebagai entitas terkecil yang dapat dilihat sebagai miniatur sebuah masyarakat, bahkan negara.
“Negara kecil”
Dr. Ninok Leksono, wakil pemred salah satu koran di Jakarta, yang “kebetulan” namanya digunakan oleh Karlina, mengakui, emansipasi itu menuntut banyak kesabaran. Karena suasana yang demokratis itu, sebagai suami ia pun dipaksa untuk bersikap rendah hati. Pada gilirannya, kerendahan hati itu membantu membentuk konsep tersendiri tentang emansipasi yang paling pas bagi dirinya dan keluarganya, yaitu terletak antara memberi peluang dan memerdekakan. Artinya tidak hanya istri, tetapi anak-anak pun mempunyai peluang untuk menjadi dirinya, sesuai dengan bakat, kemampuan, dan cita-citanya.
Cara pandangnya tentang keluarga, tak terlepas dari concern-nya terhadap masyarakat luas. “Alangkah ruginya, bila seseorang yang seharusnya dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dan lingkungannya, tertutup kesempatannya,” ujarnya. Ia memberikan contoh, anak yang berbakat dalam olahraga, atau ahli matematika, tidak dapat tersalur bakatnya, karena tekanan ayah. Bahkan suami-suami pun ada yang kurang berkembang karena tekanan istri.
Namun ia bersikukuh tetap memegang 25% dalam skala 0 - 100% kebebasan itu, yang diterjemahkannya sebagai, “wewenang untuk mengingatkan, karena pada dasarnya setiap manusia itu perlu ada yang mengingatkan.” Ibarat negara, sistem “negara kecilnya” berada antara semi demokrasi dan demokrasi 100%. Meski cara mengingatkannya dapat bervariasi, dari masih memberi peluang argumentasi sampai mengatakan “terserah” sambil bersidekap, ia selalu memberikan pilihan ganda dan pada akhirnya mempersilakan anggota keluarga untuk menentukan sendiri pilihannya. Tidak ada ancaman karena, “Apa hak dan kuasa saya untuk memberikan ancaman?” ungkapnya. Soalnya ia percaya komitmen untuk berkeluarga dan mempunyai anak lebih melahirkan kewajiban daripada kuasa.
Menegakkan suasana yang emansipatif dalam keluarga memang sulit, terutama bagi pihak pria. Tak heran, bila Ariel Heryanto, antropolog politik, yang memandang emansipasi sebagai pembebasan dari belenggu penindasan, berkomentar, hambatan utama sulitnya ditegakkan kesetaraan dalam hubungan pria-wanita, karena, pria harus melawan diri sendiri, latar-belakang, dan tradisi yang telah membesarkannya. Masalahnya diperberat, karena belum ada guru, teori, ataupun metode yang tinggal diikuti. Mana pula cukup sulit membongkar nilai-nilai yang telah tertanam di benak batin selama puluhan tahun. Ibarat pohon yang akarnya telah menghunjam jauh ke dalam tanah, begitulah nilai-nilai yang mengatakan bahwa “dunia ini milik lelaki” telah berurat akar dalam pria - dan wanita Indonesia. Apalagi, usaha membongkarnya selama berbulan-bulan dalam lingkungan kecil keluarga, bisa serta-merta sirna ketika si pelaku terpapar ke masyarakat luas yang notabene masih memberlakukan segala nilai yang tak membebaskan itu.
Bak percintaan
Dengan segala alangan itu, tak berarti tertutuplah kemungkinan tumbuhnya kesetaraan, bahkan kemerdekaan bagi perempuan. Awalnya, perlu tumbuh kepribadian yang lebih matang dan pemahaman, bahwa orang perlu mendengarkan orang lain. Setelah itu, saran Ninok, komunikasi menjadi prasyarat untuk terciptanya suasana yang emansipatif, partisipatif, dan demokratis.
Dengan bahasa lain, pihak wanita mengharapkan, “Laki-laki perlu mengalami pencerahan dan diemansipasikan juga oleh pihak wanita,” ujar Karlina. Dalam arti perempuan tidak membiarkan begitu saja perlakuan yang menekan. Seperti kata Ariel, “Penindasan itu bak percintaan: tak mungkin awet jika berlangsung sepihak.”
Jalan keluar jangka pendek adalah berdiskusi dengan suami, kalau perlu berargumentasi. Bila belum mampu, Karlina yang memperkirakan emansipasi di Indonesia ini belum mencapai separuh dari yang seharusnya, menganjurkan agar perempuan mencari kawan untuk membicarakan masalahnya. Dari situ barangkali ia dapat belajar bagaimana berargumentasi secara tepat. Namun pemecahan yang lebih mendasar, yang hasilnya barangkali baru nampak setelah satu generasi atau lebih, adalah menanamkan nilai-nilai emansipasi itu lewat pendidikan di rumah.
Dalam ekspresi lugas Ariel, barangkali para suami dan ayah tidak lagi merasa harus “menjadi yang serba tahu dan serba bisa”. Bahkan terus terang ia mengaku, “Anak-anak (saya) lebih banyak belajar dari berbagai sumber di dunia. Saya bukan pusatnya, malah kadang-kadang saya belajar dari mereka.” Dan dilihatnya anak-anaknya jauh lebih mandiri daripada dirinya ketika seusia mereka.
Tak usah diragukan lagi, pendidikan memegang peran penting untuk terciptanya emansipasi. Saparinah, yang juga anggota Komnas HAM, yakin, anak perempuan harus diberi kesempatan pendidikan yang sama dengan saudara lelakinya. Kalau saja standar pendidikan 9 tahun dapat diperoleh setiap anak perempuan Indonesia, dua keuntungan dapat sekaligus diraih: perkawinan terlampau muda dikurangi, pendidikan mereka pun ditingkatkan.
Perlakuan gender yang tidak bias bisa pula dihindarkan, dengan tidak membedakan jenis mainan atau kegiatan. “Kalau anak perempuan kami ingin mencuci mobil, kami biarkan. Sebaliknya, anak lelaki kami tidak dilarang untuk membantu tugas-tugas rumah tangga,” kata Karlina. Sama halnya, jangan menabukan menangis bagi anak lelaki. “Bukankah mereka sama-sama memiliki kelenjar air mata?” tukas Debra.
Sayangnya, sampai sekarang gambaran peran pria dan wanita di dalam buku pelajaran SD masih amat bias gender. Siti membantu ibu di dapur, Amir bersama Bapak berkebun, Ayah membaca koran, mencuci mobil, atau ke kantor. Bahkan media elektronik pun semakin memperkuat stereotipe macam itu, dengan menampilkan peran atau sifat yang terpatok mati berdasarkan gender. Setiap hari anak dan orang dewasa disodori “cermin” yang semu itu, entah lewat tayangan iklan atau sinetron. Ibu yang memasak, mengurus anak, dan ayah yang lebih bijak menasihati ibu. Seorang pria disuguhi kopi beraroma sedap begitu bangun pagi oleh seorang wanita. Tepatkah gambaran itu, kecuali, meminjam istilah Debra, bila “Anak-anak perempuan kita memang terlahir dengan panci di tangan.”
Bahkan Debra menyayangkan, tayangan iklan kemasyarakatan GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) selalu menampilkan anak lelaki sebagai tokohnya. “Memangnya anak perempuan Indonesia enggak ada yang ingin sekolah!” gugatnya. Tak heran untuk bacaan (atau tayangan) semacam itu, Saparinah titip pesan agar orang tua memberikan informasi kepada anak-anak, bahwa itu semua tak relevan lagi untuk keadaan sekarang.
Menolak kenikmatan gratis
Mengapa? “Karena sudah semangat zaman,” papar Debra Yatim, yang juga wartawan. Kekolotan sistem patriarkhal telah semakin terkikis oleh semangat pluralisme dan demokrasi dengan akibat terciptanya peluang bagi gerakan feminisme untuk tumbuh dan berkembang. Diakuinya, ada pelbagai definisi feminisme, namun baginya, feminisme adalah semangat untuk menegaskan adanya kesetaraan antara lelaki dan perempuan.
Tak pelak lagi kini saatnya wanita Indonesia mendobrak semua ikon-ikon dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki selalu sebagai pusat. Bagi lagi-laki sendiri, menerima ide emansipasi sebenarnya sama dengan menolak segala kenikmatan yang selama ini telah diperolehnya secara gratis. Dan pada akhirnya, seperti diamati Ariel, adalah kesulitan paling utama bagi kaum pria. Namun bila dengan pengorbanan itu, akan terbangun suatu masyarakat yang lebih kreatif, produktif dan bahagia, mengapa tidak?
Sebab, bukankah pada dasarnya yang dicari para perempuan, seperti kata Debra, hanyalah suatu lingkungan di mana setiap manusia dapat hidup sejajar, saling menghargai? Atau dalam ungkapan Ninok, suatu masyarakat di mana kaum wanitanya diberi kepercayaan dan peluang cukup untuk mengekspresikan dirinya? Sehingga di segala bidang kehidupan, anjuran Sartono bagi para wanita ini dapat terwujud, “Tetaplah jadi perempuan, tetapi profesional-lah!” (Lily Wibisono/I Gede Agung Yudana/Anglingsari SISK/A. Hery Suyono)

Refleksi International Women Day: Narsisme Tubuh Perempuan Dan Hipermarket

March, 09 2007 @ 12:35

Pada tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingatinya sebagai Hari Perempuan Internasional atau biasa disebut International Women’s Day (IWD). Pada hari itu perempuan di seluruh dunia, masyarakat dan NGO yang peduli persoalan perempuan memperingatinya dengan cara melakukan pawai atau melakukan kampanye serta menyampaikan tuntutan-tuntutan yang memperjuangkan seputar isu-isu perempuan. Penindasan terhadap perempuan memang masih terpupuk dan tumbuh subur, meski saat ini adalah era yang mengagung-agungkan modernitas dan kemajuan tekhnologi. Penindasan perempuan bukan hanya melalui tindakan pelecehan dan kekerasan fisik, lebih daripada itu penindasan itu juga berbentuk kesadaran semu yang diinjeksikan kepada perempuan secara terus menerus oleh berbagai instrument-instrumen kekuasan demi kepentingan segelintir orang. Perempuan dengan mudah akan terhipnotis oleh semarak tawaran-tawaran pasar globalisasi, yaitu berupa berbagai macam aksesoris untuk memperindah penampilan, yang sebernarnya merupakan salah-satu usaha pemalsuan kesadaran perempuan menuju ideologi narsis.Bila kita cermati semakin hari, kian menjamurlah mall, pusat-pusat perbelanjaan dan swalayan di berbagai sudut-sudut kota besar. Seolah tidak mau ketinggalan, mini market juga telah merambah di kota-kota pinggiran. Hingga nasib mengenaskan melanda toko-toko kelontong milik masyarakat yang berbasis ekonomi keluarga. Pasar tradisional mengalami penurunan keuntungan penjualan dengan jumlah yang cukup signifikan. Padahal toko kelontong dan pasar tradisional adalah penyangga perekonomian mikro rakyat kecil, berbeda dengan swalayan dan jaringan mini market yang didesain dan dioperasikan oleh segelintir orang yang secara finansial memiliki kemampuan materiil lebih mapan.Ketika awal tahun 2006 hingga mendekati pertengahan tahun 2007 penambahan jumlah mall, swalayan dan mini market yang menjual kebutuhan hidup, cinderamata, pakaian-pakaian mode baru—yang hanya akan bertahan sebatas diiklankan produk tersebut, permainan elektronik, photo box, jumlahnya bertambah pesat jika dibandingkan jumlah toko buku di Indonesia. Jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia juga masih tertinggal jauh dari negara lain, setiap tahunnya hanya 10.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia, bandingkan dengan Inggris yang menerbitkan 110.000 buku setiap tahunnya. Hal itu mengindikasikan budaya masyarakat Indonesia yang masih minim untuk menyampaikan pemikiran dan gagasan baru, mereka telah terbiasa menonton dan mengkonsumsi dibanding mencipta dan melakukan proses kreatif.Mall dan swalayan juga menjadi tujuan rekreasi pemuda-pemudi, dalam hal ini perempuanlah yang lebih mendominasi karena memiliki kepentingan untuk terus berbelanja dan melakukan perbaikan-perbaikan pada setiap detail tubuhnya supaya semakin mendekati stradarisasi-stadarisasi cantik menurut ukuran pasar.Perempuan akan kebingungan dan merasa kurang percaya diri ketika pakaiannya ketinggalan mode, perempuan akan mengalami krisis yang tidak terelakkan dalam hidupnya ketika ia tidak memakai lipstik dan pada akhirnya jiwa mereka akan tetap mengalami kegelisahan karena telah memutuskan untuk ikut arus yang sebenarnya tidak bisa ia mengerti dan menuruti aturan-aturan, standar-standar kecantikan yang dipaksakan pada mereka.Kesadaran perempuan diremehkan dan ditempatkan pada posisi serendah-rendahnya, perempuan berfikir dengan metode dangkal, mereka disibukkan berhias diri di depan kaca, menyempurnakan penampilannya, terkagum-kagum pakaian terbaru artis sinetron, berpose dengan senyuman dibuat-buat di dalam box foto, memandang dan mengevaluasi hasil foto kemudian siklusnya diulang lagi. Seolah eksistensinya sudah terpenuhi hanya dengan aktivitas-aktivitas pasif itu. Kalau perempuan terus-menerus hanya mempedulikan diri-sendiri dan akan memperhatikan orang lain yang lebih glamour sebagai referensi, ketika perempuan menganut ideologi narsistik atau ideologi yang memuja-muja tubuh sendiri, lantas kapan mereka menyempatkan untuk melakukan sesuatu pada orang lain yang mengalami kesulitan hidup? Kapan perempuan akan menuntut ketidakadilan yang menimpa mereka? Kapan perempuan memiliki perspektif maju tentang persoalan kehidupan?Sebagaimana manusia seutuhnya, perempuan memiliki hak untuk bebas dari lingkaran narsis yang akan menenggelamkan mereka menuju lubang gelap imajinasi dan kepuasan-kepuasan semu yang tidak memberikan efek positif apapun selain kesia-siaan. Perempuan memiliki hak sekaligus kewajiban untuk berorganisasi dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sosial. Perempuan berhak belajar dan lebih memiliki ruang untuk mengelola ide-ide kreatifnya, perempuan berhak bebas dari intimidasi serta tindak kekerasan. Perempuan berhak bebas dari pelacuran hubungan seksual—maupun yang dibungkus pernikahan— yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh uang atau berbagai keuntungan materi dan keamanan, karena bentuk hubungan seperti itu terjadi pada situasi dimana perempuan mengorbankan perasaan kasih-sayang sejati, persahabatan dan kemurnian cinta.Lalu, apakah terlarang ketika perempuan merawat tubuhnya? Tentu saja jawabannya tidak! Yang menjadi persoalan adalah ketika seluruh waktunya dihabiskan untuk mengejar tubuh 'ideal' versi 'pasar' yang menyesatkan itu. Kecantikan muncul dari tubuh dan pikiran yang sehat, kecantikan bukan pemalsuan kepribadian yang telah mengubah konsep kebahagiaan diri guna memuaskan norma masyarakat dengan tujuan untuk memikat laki-laki dan supaya orang-orang sekitar menganggapnya normal. Sesungguhnya pada saat itulah terbukti penyebab tersingkirkannya perempuan untuk hidup mandiri dan tidak tergantung bukan disebabkan oleh kodrat maupun ajaran agama, namun sistem ekonomi dan sistem sosial-lah yang menyebabkannya.

By: Ken Ratih Indri Hapsari, 2007