Monday, February 25, 2008

Emansipasi adalah kebebasan yang bersifat eksistensial

Sekian puluh bulan April telah berlalu sejak Indonesia merdeka, setiap kali pula isu yang diembuskan R.A. Kartini ini menjadi perbincangan yang belum pudar. Manusia tak dapat melepaskan diri dari perubahan zaman. Sejumlah pengamat mengetengahkan pandangannya tentang emansipasi dalam konteks masa kini.
“Wanita dan pria itu betul-betul equal, kok,” kata Sartono Mukadis, psikolog dan direktur sebuah perusahaan konsultan SDM di Jakarta. Pengamat psikologi yang cukup vokal ini bicara berdasarkan pengamatannya sendiri. Malah, “Angka intelegensia wanita yang datang ke tempat saya rata-rata sedikit lebih tinggi (meski tak signifikan) daripada pria. Tingkat kelulusan wanita yang menjalani tes di sini juga lebih besar ketimbang pria,” paparnya. Itu karena wanita yang memutuskan ingin mencari kerja, umumnya lebih matang mempersiapkan diri. Tidak main sabet seperti rekan-rekan prianya.
Ia tak menutupi keheranannya, mengapa masih muncul isu emansipasi. “Istilah ‘emansipasi’ itu sendiri sangat menghina wanita,” kata Sartono. Bukankah secara implisit istilah itu mencerminkan belum adanya kesejajaran antara pria dan wanita? Sementara ia yakin, wanita mampu menjadi apa saja, dari dokter, ahli komputer sampai direktur. Keluhan dari pihak wanita tentang peran ganda yang harus mereka lakukan sehingga menghambat kemajuan karier, ditepisnya. “Adakah seorang anggota masyarakat yang tidak berperan ganda saat ini?” Bahkan seorang pria direktur pun, pada masa ini dituntut untuk tidak menganggap anak itu urusan ibu.”
Sebaliknya ia mengamati masih banyak wanita yang dengan segala kemampuan dan kelebihannya belum bersikap dan berpikir profesional. Batu sandungan yang tertanam di benak dan hati mereka masih cukup banyak. Selain belum high achiever, mereka beranggapan, menapaki karier itu mengkhianati feminitas mereka. Bahkan banyak wanita yang menolak tantangan dalam bekerja karena alasan-alasan yang tidak rasional, seperti, “Saya tidak enak pada suami,” atau, “Bagaimana nanti pandangan keluarga saya?” “Nanti bagaimana dengan anak saya?”
Wanita tak bisa menggali?
Seorang wanita, yang kebetulan juga seorang feminis, menimpali, “Jangan dulu bicara soal kompetensi, sebelum kita yakin keduanya mempunyai kesempatan yang sama.” Menurut Debra H. Yatim, sayang sekali, Indonesia belum menghadirkan itu. Di pihak lain ia sepakat dengan Sartono, bahwa Indonesia sudah saatnya menganut meritokrasi, sehingga seseorang diberi kepercayaan untuk tugas tertentu karena merit-nya, karena kemampuannya. Sartono dengan rendah hati mengakui, bahwa pengamatannya didasarkan cuma sebatas bidang yang digelutinya sehari-hari. Barangkali justru di situ soalnya.
Serentak kita palingkan wajah dari kalangan terdidik dan lingkungan swasta, ke kalangan dengan sosio-ekonomi lebih rendah dan lingkungan pemerintahan, segera mencuat sederet pertanyaan.
Benarkah nasib wanita ada di tangannya sendiri? Bisakah kita batasi masalahnya hanya pada seputar kondisi kejiwaan orang per orang? Bagaimana jika masalahnya juga kait-mengkait dengan faktor sosio-budaya? Bahkan terlembaga dalam keputusan-keputusan strategis para pengelola bangsa ini?
Kalau Sartono berpendapat, istilah “mitra sejajar” sebenarnya sangat menghina wanita, pastilah bukan karena itu istilah yang sama tercantum dalam GBHN (GBHN 1993 - 1998 & Kabinet Pembangunan VI, hal. 120). Bahkan selanjutnya di situ disebutkan, “Iklim sosial budaya perlu dikembangkan agar lebih mendukung upaya mempertinggi harkat dan martabat wanita sehingga dapat makin berperan aktif dalam masyarakat dan dalam lingkungan keluarga secara selaras dan serasi.”
Memang, tampilan wanita dalam konteks kelas menengah ke atas, yang serba berpendidikan dan berpeluang, memberikan gambaran lebih dari lumayan. Namun benarkah peluang untuk bekerja bagi mereka tersedia cukup baik? Meski secara keseluruhan, penduduk wanita Indonesia sedikit lebih banyak dari pria (Statistik Indonesia 1996), kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka, paling tidak yang ditunjukkan oleh data BPS tahun 1989 - 1995, hampir selalu di bawah pria. Yang jelas, krisis moneter dan ekonomi yang sedang menggilas negeri tercinta ini mau tak mau memupuskan harapan wanita akan peningkatan kesempatan kerja lebih lanjut.
“Tuduhan” bahwa sistem di negeri kita memang kurang memberikan kesempatan kepada kaum hawa seperti mendapat pengesahan, saat dicanangkannya program padat karya sebagai salah satu jurus untuk mengelakkan pukulan telak kris-mon. Karena peluang itu hanya disediakan bagi pria. Padahal, “Siapa bilang, perempuan tidak bisa menggali-gali,” ujar Prof. Dr. Saparinah Sadli, guru besar di Fakultas Psikologi UI.
Tentu saja sistem kurang memberi peluang, karena garis kebijakan dasarnya sudah mengarah pada pembedaan berdasarkan gender. Meski menurut UUD ‘45 dan GBHN setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama, mereka belum diperlakukan sama. Menurut Saparinah, adalah GBHN pula yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga, sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga dan pengasuh anak. Dengan begitu kebijakan selanjutnya seperti memalu nasib wanita yang sering memaksanya menjadi pihak yang cuma gigit jari. “Pembedaan itu terjadi sejak seleksi sampai promosi. Kalau wanita bekerja di BUMN, dia diperlakukan sebagai lajang dan tidak memperoleh fasilitas seperti yang diterima pegawai pria. Anaknya tak dapat menggunakan fasilitas poliklinik, misalnya,” jelasnya kemudian.
Kenyataan bahwa banyak wanita menjadi kepala keluarga tidak mengubah nasibnya di depan mata birokrasi, karena memang tidak ada aturannya. Dalam degup kehidupan sehari-hari, kenyataan ini menjadi pil pahit yang bukannya tak mungkin bisa berarti hidup matinya sebuah keluarga, kalaupun bukan melulu nasib seorang wanita. Seorang perempuan sulit mendapatkan kredit dari bank, seorang istri tidak dapat memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), kecuali atas nama suaminya, karena kepala keluarga adalah suami.
Untunglah, di lingkungan swasta, wanita masih lebih diberi keleluasaan berkarya. Saparinah menunjuk kehadiran wanita direktur atau manajer di bank-bank swasta, dibandingkan dengan amat langkanya kaum hawa di level setara dalam bank pemerintah. Kita pun telah terbiasa, bahwa ruang gerak wanita seringkali terbatas pada bidang-bidang yang dipercaya sesuai dengan sifat kewanitaannya. Bidang-bidang yang berkaitan dengan keindahan, kehalusan, ketelitian, dan kesabaran. “Kita diberi kesempatan, asal di jalur perempuan saja,” kata Saparinah. Padahal siapa yang meragukan kefemininan wanita Bali? Di sana adalah biasa terlihat perempuan yang rata-rata berbahu tegak dan segemulai peragawati bahu-membahu dengan pria bekerja sebagai kuli, entah di proyek bangunan atau jalan raya.
Boleh, asalkan peran domestik
Di mata Dr. Karlina Leksono, astronom perempuan pertama di Indonesia, staf BPPT dan pengajar di UI, serta tokoh gerakan Suara Ibu Peduli, posisi perempuan dari segi hak, kebolehan untuk berpendapat, dan peran di luar keluarga memang masih berada di bawah laki-laki. Itu pula alasannya ia memandang wanita masih terbelenggu oleh pelbagai pembatasan yang seharusnya tak ada.
“Emansipasi adalah kebebasan yang bersifat eksistensial,” katanya. Ketika dilahirkan, manusia adalah makhluk bebas. Meski tak diingkari bahwa sebagai makhluk sosial, adalah wajar bila di belakang hari kebebasan itu dibatasi oleh lingkungan sekitar. Namun seyogyanya pembatasan itu bukan sesuatu yang dipaksakan, yang bersifat hegemoni.
Ambil contoh seorang Nyonya Farida yang bekerja setengah hati, “kurang profesional”, menurut istilah Sartono, karena ia “tak enak hati” terhadap suaminya. Ia mundur ketika disodori peluang untuk maju, karena di belakang benaknya ada rambu-rambu menyala merah berkedap-kedip. Rambu-rambu itu berbunyi: “Wanita ideal adalah yang menurut pada suami” (kebetulan, suaminya tidak antusias ia semakin maju, karena khawatir anak-anak akan telantar, ia akan pulang terlalu larut, dsb.), atau, “Penghasilan suami harus lebih tinggi dari istri”. Seperti banyak wanita, Farida memilih menyelamatkan bahtera perkawinannya, karena kesuksesannya di situ yang pertama kali akan dinilai oleh masyarakat sekitar.
Karlina menyayangkan, masih terlalu didengung-dengungkannya keyakinan bahwa yang terbaik bagi wanita adalah peran domestik. Di banyak desa, meski ibu-ibu semakin terdidik oleh peran PKK, konsep yang ditanamkan tetaplah bahwa mereka pendamping atau pendukung suami. Padahal pekerjaan domestik cenderung dianggap kurang penting daripada pekerjaan publik, yang dianggap sebagai wilayah pria. Jelas nilai-nilai tentang bagaimana wanita yang “ideal” yang telah mengkristal dalam sosiokultur kita ini diterjemahkan dalam segala tindak-tanduk kehidupan manusia, termasuk dalam penyediaan atau pemilihan (oleh si perempuan sendiri) lapangan kerja.
Tak enak pada suami
Irwan Abdullah, staf pengajar antropologi FS-UGM, mengutip sebuah hasil survei yang menanyakan kepada 94 orang wanita sebuah desa, “Ciri-ciri apa yang harus dimiliki oleh seorang wanita yang baik?” Hanya 6 responden yang mengatakan bahwa seorang wanita harus mencari uang. Yang terbanyak, wanita harus menjadi ibu yang baik (54 orang), kemudian istri yang baik dan patuh (27 orang) dan ibu rumah tangga (17 orang). Namun yang dianggap ideal ini cukup sulit untuk diwujudkan, karena wanita desa pada praktiknya terlibat dalam pelbagai macam urusan. Ya rumah tangga, ya ekonomi (pertanian, industri, atau dagang kecil-kecilan) ya kegiatan sosial (Prisma 6, Juni 1995).
Struktur sosial di negeri kita yang umumnya patriarkhal disebut juga sebagai salah satu faktor yang semakin memperkuat subordinansi perempuan terhadap laki-laki. Dalam suatu pertentangan kepentingan, wanita biasanya cenderung akan mengalah. Maka jamaklah bila terluncur dari bibir wanita, “Tidak enak pada suami”, saat ia menolak peluang peningkatan dalam jenjang karier, atau saat ia menahan diri untuk tidak aktif dalam kegiatan sosial, meski itu satu-satunya kesempatan untuk memperluas wawasan. Wanita sendiri, karena pengaruh nilai di sekitarnya, memandang bahwa menjadi wanita ideal adalah menjadi ibu rumah tangga yang baik. Terlepas dari apa yang dilakukannya dalam praktik kehidupan nyata, demikianlah yang tertanam di dalam lubuk pikirannya.
Jadi, apa sebenarnya yang kau cari hai kaum perempuan? “Beri kami kepercayaan untuk bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kami sendiri,” ujar Karlina. Dalam kehidupan nyata, itu bisa berarti, perempuan yang berpeluang dan berkemampuan untuk berperan aktif di luar rumah, memutuskan tinggal di rumah, karena berpendapat itu yang paling cocok dengan kepribadian dan panggilan nuraninya. Bukan karena tekanan dari suami, orang tua atau mertua, bahkan omongan tetangga. Tentu masalahnya jadi lain, bila partisipasinya untuk turut mendukung kesejahteraan keluarga secara ekonomi memang dibutuhkan.
Adalah Karlina sang ibu pula yang mengungkapkan, “Saya pikir, keluarga selalu harus diutamakan. Kita harus selalu berangkat dari lingkungan yang kecil. Setelah (segala masalah di) keluarga sendiri teratasi, tidak bisa kita tinggal diam untuk tidak memikirkan orang lain. Apalagi bila kita berkemampuan untuk itu.”
Karlina barangkali satu dari sedikit figur wanita Indonesia yang cukup beruntung menikmati emansipasi dalam keluarganya. Tak pelak lagi, keberuntungannya itu tentu berawal dari figur suami yang memandang emansipasi sebagai demokratisasi dalam tingkat antarmanusia, dan memandang keluarga sebagai entitas terkecil yang dapat dilihat sebagai miniatur sebuah masyarakat, bahkan negara.
“Negara kecil”
Dr. Ninok Leksono, wakil pemred salah satu koran di Jakarta, yang “kebetulan” namanya digunakan oleh Karlina, mengakui, emansipasi itu menuntut banyak kesabaran. Karena suasana yang demokratis itu, sebagai suami ia pun dipaksa untuk bersikap rendah hati. Pada gilirannya, kerendahan hati itu membantu membentuk konsep tersendiri tentang emansipasi yang paling pas bagi dirinya dan keluarganya, yaitu terletak antara memberi peluang dan memerdekakan. Artinya tidak hanya istri, tetapi anak-anak pun mempunyai peluang untuk menjadi dirinya, sesuai dengan bakat, kemampuan, dan cita-citanya.
Cara pandangnya tentang keluarga, tak terlepas dari concern-nya terhadap masyarakat luas. “Alangkah ruginya, bila seseorang yang seharusnya dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dan lingkungannya, tertutup kesempatannya,” ujarnya. Ia memberikan contoh, anak yang berbakat dalam olahraga, atau ahli matematika, tidak dapat tersalur bakatnya, karena tekanan ayah. Bahkan suami-suami pun ada yang kurang berkembang karena tekanan istri.
Namun ia bersikukuh tetap memegang 25% dalam skala 0 - 100% kebebasan itu, yang diterjemahkannya sebagai, “wewenang untuk mengingatkan, karena pada dasarnya setiap manusia itu perlu ada yang mengingatkan.” Ibarat negara, sistem “negara kecilnya” berada antara semi demokrasi dan demokrasi 100%. Meski cara mengingatkannya dapat bervariasi, dari masih memberi peluang argumentasi sampai mengatakan “terserah” sambil bersidekap, ia selalu memberikan pilihan ganda dan pada akhirnya mempersilakan anggota keluarga untuk menentukan sendiri pilihannya. Tidak ada ancaman karena, “Apa hak dan kuasa saya untuk memberikan ancaman?” ungkapnya. Soalnya ia percaya komitmen untuk berkeluarga dan mempunyai anak lebih melahirkan kewajiban daripada kuasa.
Menegakkan suasana yang emansipatif dalam keluarga memang sulit, terutama bagi pihak pria. Tak heran, bila Ariel Heryanto, antropolog politik, yang memandang emansipasi sebagai pembebasan dari belenggu penindasan, berkomentar, hambatan utama sulitnya ditegakkan kesetaraan dalam hubungan pria-wanita, karena, pria harus melawan diri sendiri, latar-belakang, dan tradisi yang telah membesarkannya. Masalahnya diperberat, karena belum ada guru, teori, ataupun metode yang tinggal diikuti. Mana pula cukup sulit membongkar nilai-nilai yang telah tertanam di benak batin selama puluhan tahun. Ibarat pohon yang akarnya telah menghunjam jauh ke dalam tanah, begitulah nilai-nilai yang mengatakan bahwa “dunia ini milik lelaki” telah berurat akar dalam pria - dan wanita Indonesia. Apalagi, usaha membongkarnya selama berbulan-bulan dalam lingkungan kecil keluarga, bisa serta-merta sirna ketika si pelaku terpapar ke masyarakat luas yang notabene masih memberlakukan segala nilai yang tak membebaskan itu.
Bak percintaan
Dengan segala alangan itu, tak berarti tertutuplah kemungkinan tumbuhnya kesetaraan, bahkan kemerdekaan bagi perempuan. Awalnya, perlu tumbuh kepribadian yang lebih matang dan pemahaman, bahwa orang perlu mendengarkan orang lain. Setelah itu, saran Ninok, komunikasi menjadi prasyarat untuk terciptanya suasana yang emansipatif, partisipatif, dan demokratis.
Dengan bahasa lain, pihak wanita mengharapkan, “Laki-laki perlu mengalami pencerahan dan diemansipasikan juga oleh pihak wanita,” ujar Karlina. Dalam arti perempuan tidak membiarkan begitu saja perlakuan yang menekan. Seperti kata Ariel, “Penindasan itu bak percintaan: tak mungkin awet jika berlangsung sepihak.”
Jalan keluar jangka pendek adalah berdiskusi dengan suami, kalau perlu berargumentasi. Bila belum mampu, Karlina yang memperkirakan emansipasi di Indonesia ini belum mencapai separuh dari yang seharusnya, menganjurkan agar perempuan mencari kawan untuk membicarakan masalahnya. Dari situ barangkali ia dapat belajar bagaimana berargumentasi secara tepat. Namun pemecahan yang lebih mendasar, yang hasilnya barangkali baru nampak setelah satu generasi atau lebih, adalah menanamkan nilai-nilai emansipasi itu lewat pendidikan di rumah.
Dalam ekspresi lugas Ariel, barangkali para suami dan ayah tidak lagi merasa harus “menjadi yang serba tahu dan serba bisa”. Bahkan terus terang ia mengaku, “Anak-anak (saya) lebih banyak belajar dari berbagai sumber di dunia. Saya bukan pusatnya, malah kadang-kadang saya belajar dari mereka.” Dan dilihatnya anak-anaknya jauh lebih mandiri daripada dirinya ketika seusia mereka.
Tak usah diragukan lagi, pendidikan memegang peran penting untuk terciptanya emansipasi. Saparinah, yang juga anggota Komnas HAM, yakin, anak perempuan harus diberi kesempatan pendidikan yang sama dengan saudara lelakinya. Kalau saja standar pendidikan 9 tahun dapat diperoleh setiap anak perempuan Indonesia, dua keuntungan dapat sekaligus diraih: perkawinan terlampau muda dikurangi, pendidikan mereka pun ditingkatkan.
Perlakuan gender yang tidak bias bisa pula dihindarkan, dengan tidak membedakan jenis mainan atau kegiatan. “Kalau anak perempuan kami ingin mencuci mobil, kami biarkan. Sebaliknya, anak lelaki kami tidak dilarang untuk membantu tugas-tugas rumah tangga,” kata Karlina. Sama halnya, jangan menabukan menangis bagi anak lelaki. “Bukankah mereka sama-sama memiliki kelenjar air mata?” tukas Debra.
Sayangnya, sampai sekarang gambaran peran pria dan wanita di dalam buku pelajaran SD masih amat bias gender. Siti membantu ibu di dapur, Amir bersama Bapak berkebun, Ayah membaca koran, mencuci mobil, atau ke kantor. Bahkan media elektronik pun semakin memperkuat stereotipe macam itu, dengan menampilkan peran atau sifat yang terpatok mati berdasarkan gender. Setiap hari anak dan orang dewasa disodori “cermin” yang semu itu, entah lewat tayangan iklan atau sinetron. Ibu yang memasak, mengurus anak, dan ayah yang lebih bijak menasihati ibu. Seorang pria disuguhi kopi beraroma sedap begitu bangun pagi oleh seorang wanita. Tepatkah gambaran itu, kecuali, meminjam istilah Debra, bila “Anak-anak perempuan kita memang terlahir dengan panci di tangan.”
Bahkan Debra menyayangkan, tayangan iklan kemasyarakatan GNOTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) selalu menampilkan anak lelaki sebagai tokohnya. “Memangnya anak perempuan Indonesia enggak ada yang ingin sekolah!” gugatnya. Tak heran untuk bacaan (atau tayangan) semacam itu, Saparinah titip pesan agar orang tua memberikan informasi kepada anak-anak, bahwa itu semua tak relevan lagi untuk keadaan sekarang.
Menolak kenikmatan gratis
Mengapa? “Karena sudah semangat zaman,” papar Debra Yatim, yang juga wartawan. Kekolotan sistem patriarkhal telah semakin terkikis oleh semangat pluralisme dan demokrasi dengan akibat terciptanya peluang bagi gerakan feminisme untuk tumbuh dan berkembang. Diakuinya, ada pelbagai definisi feminisme, namun baginya, feminisme adalah semangat untuk menegaskan adanya kesetaraan antara lelaki dan perempuan.
Tak pelak lagi kini saatnya wanita Indonesia mendobrak semua ikon-ikon dalam masyarakat yang menempatkan laki-laki selalu sebagai pusat. Bagi lagi-laki sendiri, menerima ide emansipasi sebenarnya sama dengan menolak segala kenikmatan yang selama ini telah diperolehnya secara gratis. Dan pada akhirnya, seperti diamati Ariel, adalah kesulitan paling utama bagi kaum pria. Namun bila dengan pengorbanan itu, akan terbangun suatu masyarakat yang lebih kreatif, produktif dan bahagia, mengapa tidak?
Sebab, bukankah pada dasarnya yang dicari para perempuan, seperti kata Debra, hanyalah suatu lingkungan di mana setiap manusia dapat hidup sejajar, saling menghargai? Atau dalam ungkapan Ninok, suatu masyarakat di mana kaum wanitanya diberi kepercayaan dan peluang cukup untuk mengekspresikan dirinya? Sehingga di segala bidang kehidupan, anjuran Sartono bagi para wanita ini dapat terwujud, “Tetaplah jadi perempuan, tetapi profesional-lah!” (Lily Wibisono/I Gede Agung Yudana/Anglingsari SISK/A. Hery Suyono)

No comments: